Swift

Lau Pa Sat: Kuliner di antara Hutan Beton Singapura


Hawker centre, food court, atau pujasera (pusat jajanan serba ada) bisa jadi salah satu pilihan mudah buat cari makan sambil berkuliner ria. Begitu juga waktu berwisata kuliner di Singapura. Salah satunya ke Lau Pa Sat. Tempat mengisi perut sekaligus memanjakan panca indra. Melihat dan meraba makanan yang disajikan, dipadu dengan arsitektur bangunan yang modern tapi juga antik. Mengecap juga mencium aroma dan rasa makanan yang mengundang selera. Mendengar ‘keriuhan’ sekaligus ketenangan Lau Pa Sat sambil sesekali diiringi bunyi lonceng besar yang ada di puncak atap bangunan.

Gak susah cari Lau Pa Sat. Naik MRT ke stasiun Rafles Place, lalu jalan kaki lewatin gedung-gedung perkantoran atau CBDnya Singapura. Bersih dan ramah buat pejalan kaki, dengan trotoar yang lebar dan adem karena banyak melewati pelataran gedung. Gak takut nyasar juga, karena dari Raffles Place banyak papan petunjuk arah bertuliskan Lau Pa Sat.

Sampai di Lau Pa Sat, kami disambut bunyi lonceng yang nunjukin waktu jam sebelas. Masih sepi. Masih ada beberapa gerai juga yang belum buka.

Lonceng di menara dan ornamen antik Lau Pa sat
 Lau Pa Sat atau sebelumnya Telok Ayer Market, adalah pasar tua yang megah di Singapura. Punya cerita sejarah, terutama bangunannya. Bisa dilihat dari arsitektur Lau Pa Sat yang punya ciri khas, klasik, berbeda dengan bangunan sekitarnya. Lis atap berukir dan pilar besar gaya Victoria berpadu Melayu, dengan lengkungan atap tinggi yang terbuat dari besi, semakin mengokohkan keklasikan Lau Pa sat.

Food court gaya serupa yang mengandalkan arsitektur antik dengan kuliner memang sepertinya sudah menjadi tren belakangan ini. Di Indonesia kita kenal Eat and Eat atau Kemiri. Tapi rata-rata adanya di mal, bangunan baru yang memang didisain antik. Keunggulan Lau Pa Sat, bangunannya memang pada dasarnya asli antik dari sononya. Paling renov poles-poles dikit.

Antik klasik di tengah gedung modern Singapura


Pilihan saya ke gerai makanan Seng Kee Local Delights. Pesan Laksa ukuran standar, seharga 5 SGD. Kalau yang agak besaran lagi, harganya 8 SGD. Buat branch, makanan berkuah dengan santan ini cocok banget. Soal rasa, bumbu cita rasa Melayu ini gak kalah dengan laksa ala Betawi atau laksa Bogor. Kuahnya yang kental dan pedas, dengan sambal (dan tambahan ebi atau potongan ikan?) yang bisa ambil sendiri sesuai selera, menambah nikmat laksa di Lau Pa Sat. 

Kalau saya pilih laksa, Yossie dan anak-anak pesan menu di gerai lain seperti chicken katsu dan sapo tahu. Selain tempat dan bangunannya yang menarik, Lau Pa Sat terkenal juga karena memang pilihan makanan lokalnya yang banyak dan enak. Terintegrasi dalam satu atap, kalau istilah layanan kantor pemerintahan.

Laksa Singapura yang mengundang selera
Namanya makan di luar tanah air sendiri, apalagi yang bukan negara mayoritas muslim, soal halah dan non halal bisa jadi perkara sendiri. Di Lau Pa Sat memang ada tempat cuci buat yang halal dan non halal. Lihat itu, agak lega sekaligus degdegan juga. Soal halal sebenarnya sih bisa tanya ke yang punya gerai, tapi saat itu lupa. Karena sudah pede saja merasa aman, wong cuma makan laksa, sapo tahu, ayam dan sejenisnya.

Sudah puas dan kenyang makan di Lau Pa Sat, senang sesi duanya tinggal jalan kaki, lanjut ke Merlion Park. Biar sah ke Singapura. Belum sah katanya kalau belum nengok si singa berbadan ikan itu.

Tempat cuci halal dan non halal

***



You Might Also Like

0 komentar