Swift

Rupa Gaya dan Cerita Nginap di Bandara KLIA2 Malaysia



Cerita terminal bandara, pikiran saya langsung nyambung ke film The Terminal karya Steven Spielberg. Film yang dibintangi Tom Hanks dan terinspirasi dari kisah nyata pengungsi Iran Mehran Karimi Nasseri yang selama 17 tahun hidup di terminal bandara Charles de Gaulle Paris (1988-2006). Karena film itu pula, terminal bandara di mata saya jadi lebih ‘bersahabat’ dan menyimpan banyak cerita. Kami memang gak mau seperti Viktor Navorski yang selama sembilan bulan terperangkap di bandara. Atau malah seperti Mehran Karimi dan orang-orang lain yang di berita, terpaksa tinggal di terminal bandara. Kita mah cuma transit, ‘iseng’ buat nambah pengalaman jalan-jalan.



Tidur, bermalam, atau menginap di bandara KLIA2 Kuala Lumpur memang sudah masuk rencana dalam trip Hong Kong - Shen Zhen - Macau - Kuala Lumpur ini. Kok nginap di bandara jadi tujuan? Ajak anak lagi. Kaya gak ada kerjaan, kere, dan kampungan. Mungkin ada yang mikir begitu. Biarin saja. Bagi kami, bermalam di bandara, selama jadwal penerbangannya memang memungkinkan, sehat-sehat, dan tetap menyenangkan, kenapa nggak? Lagian tujuan rekreasinya dapet. Dapet banget. Apalagi sisi ekonominya. Selain irit budget hotel, irit waktu dan tenaga, juga yang terpenting ‘pemandangannya’ menyenangkan.

Kami sengaja ngambil penerbangan malam, connecting flight pagi ke Hong Kong. Bukan cuma karena murah, tapi sengaja biar punya waktu lebih, bisa berangkat santai dari rumah ke bandara mengantisipasi jalanan Jakarta yang kusut. Keano sama Lana juga masih bisa sekolah dulu. Lumayan mengurangi jumlah hari (izin) bolos sekolah.



Penerbangan dijadwalkan jam 20.30 dari Jakarta, dan sampai di Kuala Lumpur jam 23.30 waktu KL (GMT+8). Lebih cepat satu jam dari WIB. Masuk terminal KLIA2 jam 12 malam, kami langsung diarahkan naik ke lantai dua. Jalan ke arah “Perlepasan Antarbangsa” alias keberangkatan internasional. Sekilas sempat terdengar, kata petugasnya di sana banyak makanan. Kami ikutin arahan petugasnya sambil gak berharap sedikitpun bahwa kata ‘banyak makanan’ itu merujuk pada makan gratis yang disediakan. Entah itu snack atau nasi kotakan, atau lebih-lebih berharap prasmanan. Yang dimaksud ternyata adalah hall keberangkatan yang memang banyak gerai makanan atau resto yang buka 24 jam. Ada Burger King, Popeyes, McDonalds, Noodle n Yongtaufoo, Beverage Station, Chicken Rice, Taste of India, juga Toast Box.

Dari hasil blogwalking, harusnya di sekitar sinilah lokasi buat tidur ngemper di KLIA2. Beberapa menyebut depan kantor Air Asia. Tapi tengah malam sampai jam segini belum ada tanda-tanda orang ngorok atau selonjoran. Saya hanya menduga mungkin lagi sepi penerbangan, jadi gak banyak traveler/backpacker yang transit dan butuh tiduran.

Sebelum nyari lapak tidur, kami ke surau dan tandas dulu. Sholat Isya sekalian bersih-bersih. Di dalam mushola bagian cowok ternyata lumayan penuh. Selain sholat, ada beberapa yang rebahan, tapi kelihatannya sedikit ragu buat lanjut tidur, dan akhirnya mereka beranjak keluar. Cuma ada satu orang di sudut yang gak bergerak-gerak dari awal. Ternyata beliau tidur beneran.





Kami pilih lapak di sofa depan Toast Box, seberang Burger King. Sofa panjang yang membentuk lingkaran besar putus-putus. Lumayan buat rebahan. Keano sama Lana malah asyik tiduran sambil main game. Di hall lantai dua ini awalnya cuma sedikit yang selonjoran. Masuk jam satu dini hari, mulai banyak orang seliweran dan lapak-lapak sudah mulai dikapling. Termasuk kursi-kursi kayu depan resto. Tapi semua kayaknya masih ragu dan belum lepas plong buat tidur beneran. Walaupun kelihatannya sudah ngantuk berat.





Adalah dua orang pemuda Korea yang menjadi pionir. Dengan santainya mereka mulai tidur di sofa lengkap dengan selimut dan lepas sepatu segala. Sempat gosok gigi pula. Feels like home banget.

Melihat sudah ada yang memulai, lalu semua ikutan beberes lapak tidurnya, termasuk kami. Akhirnya penuh satu lingkaran besar sofa. Ada pemuda Korea tadi, pasangan pemuda-pemudi India, trio muda mudi bule lengkap dengan sleeping bagnya. Dan juga pemuda Tiongkok (kayaknya). Kami sebaris sofa bareng trio pemuda berpenampakan India. Yang gak kebagian sofa panjang, memaksimalkan kursi dan sofa depan resto.







Sambil nunggu keano ditidurin, saya jalan-jalan lihat suasana. Ternyata sudah banyak juga yang tergeletak di lantai satu dan dua. Kalau lantai atas favoritnya memang di sekitaran resto. Tapi gak sedikit juga yang memilih di kursi-kursi dekat eskalator. Bahkan ngacak, tidur di lantai sekenanya.

Seperti bapak berpenampakan Asia Selatan yang dengan wolesnya tidur di lantai. Di tengah jalan yang jadi jalur utama orang lalu lalang di hall ini. Kayaknya beliau salah pilih tempat deh. Mungkin dia lelah. Sudah kepalang lelah dan ngantuk, sampai-sampai anak bininya dianggurin begitu lama. Walaupun pada akhirnya, mereka berbahagia dan tidur bersama. Di lantai keramik yang keras dan dingin. Plus kursi tunggu.







Lain lagi dengan pasangan kakek nenek bersahaja yang memilih lapak tidur di sudut dinding dekat jalur yang mengarah ke toilet lantai bawah. Serasa tidur atau kemping di pinggir sungai. Memandang gambar sungai yang mengalir lengkap dengan rindangnya pepohonan. Mungkin beliau sedang rindu kampung halaman.



Kalau buat yang tidurnya suka ngacak, bahkan guling-gulingan mungkin bisa pilih yang di lantai bawah. Lapaknya lebih luas, banyak pilihan, dan yang paling menarik, lantainya dikarpetin cukup tebal. Bawa alas atau sleeping bag, lebih cakep dah. Atau bisa bisa juga pake pasmina, sarung, atau kain pantai untuk alas dan selimut. Kalau bantal sih bisa pakai tas atau ransel. Mau pilih pojokan atau lapak yang lebih luas dan terbuka juga ada. Mau tetap tidur di kursi, terserah tergantung selera.

Seandainya belum terlanjur dapat lapak di sofa lantai atas, saya sih sebenarnya lebih memilih di lantai bawah ini. Karpet tebal dan lapak luas, cocok banget buat saya dan anak-anak yang aktif bergerak.





Selain karpet tebal, dan tentunya AC yang setelan dinginnya pas, ‘fasilitas’ yang tersedia juga penting banget. Colokan listrik. Hari gene colokan listrik atau stop kontak mungkin sudah jadi kebutuhan dasar bagi traveler. Nggak disediain khusus sih, tapi tinggal cari di dinding-dinding terminal. Mepet tembok dah rebahan, atau tidur sambil ngecas gadget. Mau suasana seperti apa tinggal pilih.







Naik lagi ke lantai dua, ternyata anak-anak sudah tidur pulas. Trio pemuda India tetangga sebelah juga nyenyak banget tidurnya. Beberapa ada yang masih begadang lengkap dengan gadget dan laptopnya. Enaknya di sini, dekat dengan sumber makanan. Toilet dan Mushola juga. Lapaknya gak kalah keren, sekeliling sofa dihiasi kaya lampu tidur. Makin sip lah tidurnya. Sudah lah setelan lampunya ngepas, terang tapi gak silau. Bersih pula, karena cleaning service tetap rajin dan cuek rapihin bersihin meja. Ngepel lantai walaupun ada yang tidur. Security yang jaga juga cuek, cuma berdiri dan muter di sekitaran toko duty free dan eskalator.







Ya begitulah, dengan waktu transit sekitar 6 jam di tengah malam, nginap di terminal bandara KLIA2 ternyata bisa memenuhi tujuan rekreasi kami, dan juga ekonomi. Terminal bandara seolah menjadi wahana atau atraksi wisata permulaan dalam trip Hong Kong ini. Nyontek dikit dari apa yang dibilang Pramudya Ananta Toer, “...adillah sejak dalam pikiran”. Maka bagi kami, jalan-jalan juga sebaiknya memang sudah indah dan senang sejak dalam pikiran dan parkiran (*gak nyambung). Dalam artian sejak dalam perencanaan, transit-transit, dan tujuan antaranya. Nginap di bandara ini jadi salah satunya.

Ibarat kata, biar dibayarin nginap di hotel, masih mending nginap di hall terminal bandara. Di terminal keberangkatan KLIA2 ini memang ada Sama-Sama Hotel n Lounge, atau Tune Hotel masih di dalam kawasan bandara yang memang dikhususkan buat pasar penumpang transit. Tapi kesempatan tidur, atau menginap ngemper di bandara, sayang juga buat dilewatkan. Menjadi pengalaman berharga buat otak dan dompet kita.





******

You Might Also Like

0 komentar